![]() |
Mediasuarakita.com |
Jakarta-Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dalam sidang terbuka yang digelar pada Kamis (26/06) telah resmi membacakan hasil Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024. Untuk diketahui, Putusan merupakan hasil pengujian terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang diajukan oleh Yayasan Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi). (30/06/25).
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi telah memutus bahwa format pemilu serentak lima kotak yang dilaksanakan dalam satu hari (Presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) tidak efektif, membebani pemilih dan penyelenggara, serta merusak kualitas demokrasi. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyebut format ini menimbulkan kerumitan administratif, pelemahan partai politik, dan penurunan kualitas rekrutmen Caleg (Calon Legislatif)
Adapun beberapa format yang diubah dalam Putusannya (MK) diantaranya sebagai berikut;
Format Pemilu Serentak Diubah menjadi Nasional dan Daerah. Pemilu Serentak Nasional yaitu adalah untuk memilih Presiden, DPR, dan DPD. Dan Format Pemilu Serentak Daerah (dua tahun setelahnya) adalah untuk memilih Gubernur, Bupati/Walikota, serta DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dengan pemisahan ini, MK menyebut bahwa pemilih lebih fokus, partai politik memiliki ruang kaderisasi yang cukup, dan penyelenggara pemilu dapat bekerja dengan beban yang lebih proporsional. Serta, Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Daerah dan DPRD juga memiliki Konsekuensi Format Baru.
Sebagai konsekuensi dari pemisahan jadwal ini, Mahkamah menegaskan bahwa masa jabatan kepala daerah dan DPRD hasil Pemilu dan Pilkada 2024 akan diperpanjang, untuk menyesuaikan siklus pemilu yang baru. Pertama, Kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) hasil Pilkada 2024 akan dilantik pada 2025, dan masa jabatannya diperpanjang hingga 2031. Kedua, Anggota DPRD Provinsi dan kabupaten/kotahasil Pemilu 2024, yang seharusnya berakhir 2029, juga diperpanjang hingga 2031.
"Langkah ini dipandang legal dan konstitusional sebagaimana preseden masa transisi reformasi 1999, demi membangun sistem pemilu yang stabil, konsisten, dan berkelanjutan," ujar Pandoyo, Ketua Umum Kades Indonesia Bersatu (KIB) kepada sejumlah awak media, Senin (30/06).
Kritik terhadap Pembentuk UU dan Seruan Evaluasi Sistem Pemilu
Putusan ini juga menegur keras DPR dan Pemerintah yang selama dua kali pemilu (2019 dan 2024) tidak pernah mengevaluasi model lima kotak, meskipun MK sebelumnya telah memberi peringatan melalui Putusan No. 55/PUU-XVII/2019. Mahkamah menyayangkan tidak adanya itikad baik pembentuk UU untuk melaksanakan arahan konstitusional
Pemilu dan Pembangunan untuk Menuju Sinkronisasi Nasional - Daerah
Format baru ini juga sejalan dengan kebutuhan akan integrasi dan sinkronisasi perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Dengan jeda dua tahun antara pemilu nasional dan daerah, setiap pemerintahan baru dapat menyusun RPJMD yang selaras dengan RPJMN dan RPJPN, sebagaimana mandat UU No. 59 Tahun 2024.
"Keberanian Mahkamah Konstitusi dalam mengambil peran aktif sebagai penjaga konstitusi dan pengawal demokrasi substansial wajib di apresiasi," tegas Pandoyo, yang juga diketahui masih menjabat sebagai Kepala Desa Tegalharjo, Kecamatan Trangkil, Pati.
Dengan adanya Putusan ini, lanjut Pandoyo, selanjutnya DPR RI, Pemerintah, dan KPU akan segera menyusun revisi UU Pemilu dan UU Pilkada. Diantaranya segera menyiapkan aturan transisi yang jelas, adil, dan akuntabel atas perpanjangan masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD.
"Meski demikian, hal ini perlu melibatkan publik secara luas dalam reformasi sistem kepemiluan ke depan. Selain itu, Putusan ini adalah momentum penting untuk membangun demokrasi yang sehat, efektif, dan berpihak pada rakyat," pungkasnya.
(Red).